Senin, 02 April 2012

Dewan Harian Nasional Angkatan 45 mencatat, sepuluh pejuang kemerdekaan meninggal dunia setiap hari karena usia lanjut. Sementara bagi bekas pejuang yang masih hidup, mereka ternyata harus berjuang melawan kemiskinan. Seperti apa kisah hidup para pejuang yang tersisa? Reporter KBR68H Ikhsan Raharjo menemui mereka di saat peringatan Hari Kemerdekaan.

Momen Tak Terlupakan

Sebuah lakon drama sedang dipentaskan di Gedung Joeang ’45 Menteng, Jakarta. Drama itu dimainkan oleh sekelompok anak muda. Mereka memerankan tokoh-tokoh kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Wikana, dan Sukarni. Dialog berisi perdebatan yang terjadi antara Sukarno-Hatta dengan para pemuda pejuang tentang kapan saatnya Indonesia harus memproklamirkan kemerdekaan.

Ratusan penonton menyaksikan adegan demi adegan dengan khidmat. Yang paling serius menonton adalah 150-an bekas pejuang angkatan 45. Mereka khusus diundang pada acara ini oleh Pengurus Gedung Joeang ’45.

Beberapa dari bekas pejuang itu matanya terlihat berkaca-kaca. Mereka seperti mengingat kembali kejadian 66 tahun silam.

Cholil misalnya. Pria asli Betawi itu masih ingat betul detik-detik menjelang proklamasi. Saat itu, Cholil yang masih berusia 18 tahun diperintah komandannya untuk menjaga keamanan di daerah Kebayoran Baru, Jakarta.

“Saat itu BKR (Badan Keamanan Rakyat-red) masih siaga melawan Jepang. Meski kan Jepang udah menyerah kalah. Jepang kan di bom atom. Jepang sebenarnya sudah tidak melawan, tapi kita tetap waspada”, kenang Cholil.

Pengalaman yang hampir sama juga dialami Johny Julius Pyoh. Ketika itu usianya masih 17 tahun. Johny berstatus pelajar MULO atau sekolah lanjutan tingkat pertama.

“Saat pembacaan proklamasi, saya ada di belakang, di rumahnya Fatmawati. Karena menjaga dari belakang kalau ada kereta api pasukan Belanda dan Jepang. Pokoknya musuh kita itu Belanda dan Jepang. Situasi masih gawat. Presiden (Sukarno-red) saja masih takut”, cerita Johny yang menanggalkan cita-cita menjadi guru demi perjuangan.

Lain halnya dengan Kasiyah Supadmo. Saat pembacaan proklamasi kemerdekaan dia sedang bertugas sebagai perawat di Rumah Sakit Majalaya, Jawa Barat. Usianya baru 22 tahun. Tugasnya keluar-masuk hutan merawat pejuang yang terluka.

“Ya pokoknya mendampingi tentara tugas. Kalau di dalam hutan, dokter di dalam pos saja. Tapi kalau saya dan perawat lain mengikuti (tentara). Perawat perempuan cuma saya sendiri. Saya merawat luka tembak dan sakit. Pokoknya saya itu mati senang, hidup senang.”

Kisah-kisah heroik tadi harus selalu dikenang oleh masyarakat. Begitu kata Ketua Panitia Peringatan Proklamasi Kemerdekaan dari Gedung Joeang 45, Bayu Niti Permana.

“Kita ingin mengangkat peristiwa ini sebagai sebuah ajang untuk mengingat sejarah masa lalu. Jangan sampai kita melupakan sejarah. Satu malam itu adalah satu peristiwa penting yang harus diingat anak bangsa. Bahwa segala sesuatu yang dipersiapkan sematang mungkin belum tentu berjalan mulus. Tapi dalam waktu satu malam saja itu bisa berubah. Dan itu memang harus diperjuangkan. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

Selain drama, Gedung Joeang 45 juga menggelar pawai napak tilas proklamasi kemerdekaan. Peringatan ini rutin dilakukan sejak 1980-an.

Jalan Menteng Raya di depan Gedung Joang 45 dipenuhi seribuan orang. Mereka dari kalangan pelajar, pramuka, perwakilan daerah, serta komunitas-komunitas pencinta sejarah. Bersama para veteran pejuang, mereka akan berpawai dari Gedung Joeang 45 hingga ke Tugu Proklamasi yang berjarak sekitar tiga kilometer.

Hari itu para pejuang angkatan 45 begitu dielu-elukan masyarakat. Tapi di balik itu, sebagian dari mereka masih harus berjuang melawan kemiskinan.

Terjajah Kemiskinan

Pagi 17 Agustus lalu, rumah Ilyas Karim lebih ramai dari biasanya. Ilyas tinggal di pinggir rel kereta api di Kalibata, Jakarta. Sesekali kaca jendela rumahnya bergetar ketika kereta api melintas.

Seharusnya hari itu Ilyas mengikuti upacara bendera di Istana Merdeka. Namun, ia menolak datang. Ilyas terlanjur kecewa kepada Presiden Yudhoyono karena mengingkari janji pada pejuang.

“Waktu SBY saya diundang tapi saya ndak mau karena dia pembohong kepada saya. Saya datang hanya ke undangan Gubernur DKI Jakarta di Monas. Dulu (SBY-red) pernah janji mau bantu kami pejuang (Divisi-red) Siliwangi. Dia pernah datang ke kantor saya. Dia bilang, “Pak saya mau mencalonkan jadi presiden. Saya minta bantu karena bapak orang Siliwangi dan banyak temannya.” Lalu saya bilang, “Nanti kalau menang jadi presiden jangan lupa sama pejuang”. Tapi kenyataannya dia tidak mau tahu dengan pejuang. Dia ingkar janji, makanya saya tidak ikut pengibaran bendera di istana.”

Darnis, istri Ilyas Karim, mengaku terpaksa meminta bantuan dari anak-anaknya tiap bulan. Kata Darnis, tunjangan pensiun suaminya tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ilyas menerima tunjangan pensiunan tentara dari kesatuan Angkatan Darat.

“Anak-anak membantu. Kalau dari bapak, berapa lah pensiunnya. Bayar telepon dan lampu saja sudah banyak sekali habisnya. Jadi ibu kalau dikasih bapak berapa saja diterima. Tapi Ibu tidak pernah tanya. Sampai untuk beli beras sekarung saja ibu cuma dikasih bapak Rp 500 ribu. Kalau kita tidak ada tamu tahan dua bulan beras sekarung itu. Kan yang besar itu uang lauk pauknya.”

Ilyas dan Karim juga terancam harus angkat kaki dari rumah kecil yang mereka huni sejak 26 tahun lalu. Ini menyusul kabar, rumah itu bakal digusur oleh PT Kereta Api Indonesia. Ilyas mengadukan hal itu ke Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Hanya janji-janji yang ia terima.

“Untuk bapak akan saya usahakan rumah nanti. Saya bukan anak-anak. Kalau anak-anak dikasih permen, berhenti nangis. Kalau saya sudah tua. Lebih tua dari Gubernur. Kalau Gubernur ingin mengusahakan rumah kepada saya, tapi anak buahnya mengusir saya. Ke mana barang akan saya bawa? Kalau gubernur ikhlas, kasih saja kunci rumah. Baru saya yakin. Tapi saya tidak yakin sama pejabat sekarang.”

Sekitar pukul 10 pagi, Ilyas dan isterinya dijemput seseorang dengan mobil. Mereka akan menghadiri undangan dari perusahaan pengembang apartemen di seberang rumah mereka.

Ternyata hari itu Ilyas mendapatkan satu unit apartemen di kawasan Kalibata. Ini adalah penghargaan dari perusahaan itu atas jasa-jasa Ilyas Karim.

Dia dianggap berjasa karena menjadi pengibar bendera merah putih saat pembacaan teks proklamasi 66 tahun lalu. Kepada KBR68H, Ilyas menunjukkan foto peristiwa tersebut. Dia mengaku sebagai pria bercelana pendek dengan posisi membelakangi kamera.

“Yang pakai topi itu teman saya Sudanco (Komandan-red) Singgih. Orang Jawa. Tentara PETA (Pembela Tanah Air-red). Ini saya yang celana pendek. Ada tulisan di bawahnya. Ini yang celana pendek saya ini. Ini ibu Fatmawati.”

Namun menurut sejarawan Bonnie Triayana, pengakuan Ilyas Karim perlu dicek dan diteliti lebih jauh. Pasalnya, ada beberapa keterangan yang dianggap Bonnie meragukan.

Misalnya, pengakuan Ilyas yang bermalam pada 16 Agustus 1945 di Gedung Joeang, atau saat itu disebut Menteng 31. Gedung itu dulu menjadi markas pemuda-pemuda berideologi kiri. Sementara Ilyas juga mengaku dia bergabung dengan pejuang dari kalangan Pemuda Islam.

0 komentar :

Posting Komentar